Kontroversi ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ Disebut Eksploitasi Kekerasan Seksual #usutkasusvina
Gadogadopers.com – Film “Vina: Sebelum 7 Hari” karya Anggy Umbara menuai kontroversi sejak poster perdananya dirilis pada Maret lalu. Diangkat dari kasus femisida di Cirebon pada 2016, film horor ini memicu kemarahan publik karena dianggap mengeksploitasi korban kekerasan seksual. Dalam film, korban, Vina, digambarkan merangkak berdarah-darah berusaha menyelamatkan diri dari sekelompok pria yang memerkosanya. #usutkasusvina
Ketika dirilis resmi pada 8 Mei 2024, eksploitasi terhadap mendiang Vina semakin jelas terlihat. Adegan pemerkosaan eksplisit oleh sebelas pelaku geng motor ditampilkan dalam film dan diluluskan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) untuk kategori 17 tahun ke atas. Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, beralasan adegan ini diperlukan untuk konteks cerita. “Artinya secara alur film, adegan ini harus ada karena memang itu bagian dari adegan yang kemudian memunculkan sebab-akibat di depan dan di belakangnya,” ujarnya kepada BBC Indonesia.
Tidak hanya adegan pemerkosaan, film ini juga memutar rekaman suara Linda, sahabat Vina, yang dirasuki arwah Vina. Dalam rekaman tersebut, Linda mendeskripsikan secara detail kejadian yang dialami Vina. Keputusan ini memicu reaksi keras dari warganet, kritikus film, dan aktivis perempuan. Mereka mengecam film ini dengan memboikot dan menolak menontonnya, menganggapnya sebagai bentuk eksploitasi terhadap korban femisida. #usutkasusvina
Bukan Edukasi, Melainkan Eksploitasi
Kritik dari berbagai pihak terhadap film ini cukup valid. Produser sekaligus CEO Dee Company, Dheeraj Kalwani, berdalih bahwa adegan kekerasan seksual dimaksudkan sebagai sarana edukasi agar tidak ada lagi korban seperti Vina di masa depan. Namun, pembelaan ini dianggap omong kosong. Film ini mereduksi kasus femisida Vina menjadi sekadar perundungan, padahal keduanya jelas berbeda. Femisida, menurut Komnas Perempuan, adalah pembunuhan perempuan yang dipicu oleh kebencian, dendam, dan pandangan bahwa perempuan adalah objek kepemilikan.
Pengurangan femisida menjadi perundungan mempengaruhi cara film ini menggambarkan Vina sebagai sosok lemah dan tidak berdaya. Penggambaran ini berhasil karena banyak orang di internet yang mengaku menikmati “ketidakberdayaan” Vina saat diperkosa. Şehriban Kaya, profesor feminis dari Dokuz Eylül University, menyatakan bahwa media seringkali mengeksploitasi perempuan sebagai objek erotis. Media seringkali menempatkan perempuan sebagai objek pasif dalam relasi heteroseksual, yang dikenal sebagai “male gaze”. #usutkasusvina
Laura Mulvey dalam esainya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1975) menjelaskan bahwa “male gaze” mengobjektifikasi perempuan melalui lensa kamera dan menggambarkan mereka sesuai hasrat laki-laki. Dalam film ini, kamera tidak hanya menyorot Vina yang tidak berdaya, tetapi juga salah satu pelaku yang memperkosa Vina dan tampak puas. Penggambaran semacam ini berakibat fatal, menurut studi Centers of Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2020, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan budaya victim blaming dan melanggengkan budaya pemerkosaan.
Kritik Keras dari Masyarakat
Penolakan terhadap film ini cukup signifikan. Meskipun telah disaksikan oleh lebih dari 2,5 juta orang dalam enam hari pertama penayangannya, banyak masyarakat yang menolak monetisasi korban femisida. Ian Salim, pelaku industri film, mengajak untuk memboikot film ini demi menghormati korban kekerasan seksual. Penolakan keras juga terlihat dari dukungan pada unggahan Instagram aktivis perempuan Kalis Mardiasih, yang mengkritik industri film yang hanya berorientasi pada profit. #usutkasusvina
“impact film vina memang bagus, dibanding lo lo pada bct cacicu ke filmnya, mending boikot filmnya tapi lo bantu up kasusnya!!! yang udah nonton pasti ngerti, dan ini dengerin kata keluarga alm divideo podcast bang denny ini.” ucap salah satu netizen dengan akun @mengsanss
Cine Crib, komunitas film dengan pengikut lebih dari 283.000 di YouTube, menegaskan bahwa mereka tidak akan membahas film ini sama sekali. Mereka menyatakan, “Cine Crib TIDAK AKAN ngasih panggung buat film yang mengeksploitasi kekerasan dan kesedihan dengan cara tidak etis itu.”
Penolakan film ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia tidak bodoh demi sensualitas. Mereka menolak dianggap sebagai “pasar” oleh pelaku industri yang miskin empati dan mengutamakan keuntungan dari eksploitasi femisida. Mereka menuntut film yang lebih sensitif dan humanis, serta menghargai hak dan martabat korban kekerasan seksual. #usutkasusvina
Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menyarankan agar pembuat film berkonsultasi dengan para aktivis atau lembaga perlindungan penyintas kekerasan seksual untuk memastikan gambaran dalam film tidak eksploitatif. Pembuat film perlu mengedepankan standar yang menghargai hak dan martabat manusia, khususnya korban. Salah satu caranya adalah dengan tidak menciptakan narasi yang menyalahkan atau menyudutkan korban.
Baca juga: Sandra Dewi Kembali Dipanggil Kejagung Terkait Kasus Korupsi Sang Suami