Kemenko PMK Akan Gelar Rapat Koordinasi Terkait Dugaan Perundungan di PPDS Undip
Gadogadopers.com – Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) akan segera melakukan rapat koordinasi untuk mengusut dugaan perundungan yang menimpa Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip). Kasus ini menjadi sorotan publik setelah Aulia diduga mengalami perundungan saat menjalani PPDS di RSUP Kariadi Semarang, Jawa Tengah, dan isu ini semakin ramai diperbincangkan di media sosial.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi VI Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Warsito, menegaskan bahwa penanganan kasus PPDS Undip ini memerlukan koordinasi erat antara Kemenko PMK, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Prodi kedokteran dan kesehatan itu agak sulit, sehingga Kemendikbud dan Kemenkes harus satu kesatuan untuk berkoordinasi dengan baik,” ujar Warsito di Gedung Kemenko PMK, Jakarta Pusat, pada Senin, 19 Agustus 2024.
Warsito menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan bidang kesehatan, senioritas di bawah pendidikan profesi masih ada, dan ospek antara senior dan junior dianggap penting. “Kalau kita bicara profesi, maka tujuannya adalah meningkatkan kompetensi profesi tersebut. Ketika sudah di luar itu semua, kami akan coba koordinasikan,” ungkapnya.
Namun, pemahaman mengenai kewenangan senior terhadap junior sering disalahartikan. Misalnya, ada laporan mengenai senior yang meminta junior untuk menggantikan jadwal praktik atau menjaga tugas tunggu. Informasi seperti inilah yang akan dikaji dalam rapat koordinasi nanti. “Kami justru ingin mendengar dari asosiasi dokter untuk mendapatkan gambaran lebih jelas apakah permasalahan ini terjadi hanya di satu tempat atau juga di tempat lain,” kata Warsito.
Warsito menambahkan bahwa tim sedang mengumpulkan data dari berbagai kementerian dan lembaga terkait serta menyegerakan rapat koordinasi terpadu, termasuk mengundang perwakilan dari berbagai kampus. “Karena prodi spesialis masih berada di bawah kampus, bukan di rumah sakit,” jelasnya. Ia juga meyakini bahwa instansi pendidikan telah menerapkan aturan mengenai volume jam kerja, dan dugaan adanya senioritas yang mempengaruhi junior perlu ditelusuri lebih lanjut.
Menurut Warsito, jumlah maksimum jam kerja di bidang kesehatan adalah 40 jam per minggu, dan jika melebihi batas tersebut, harus dianggap sebagai jam lembur. “Boleh lebih dari delapan jam, tapi itu sifatnya lembur, bukan permanen. Ini bukan sesuatu yang seharusnya menyebabkan kelelahan ekstrem,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Polrestabes Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar melaporkan bahwa polisi belum menemukan bukti yang jelas terkait motif perundungan. “Dari catatan harian korban, Aulia hanya mengeluh tentang kondisi kesehatannya kepada Tuhan dan orang yang diduga kekasihnya. Dalam 9 lembar catatan buku hariannya, tidak ada yang berkaitan dengan perundungan,” katanya dikutip dari Antara pada Jumat, 16 Agustus 2024.
Irwan menambahkan bahwa kepastian mengenai penyebab kematian Aulia masih dalam penyelidikan. Apakah tindakan tersebut merupakan bentuk kesengajaan atau kelalaian masih perlu didalami lebih lanjut. Hasil visum sementara menunjukkan tiga luka yang diduga bekas suntikan. Di tempat kejadian juga ditemukan alat suntik dan bekas botol obat Roculax yang diduga digunakan korban untuk meredakan rasa nyeri. Aulia diketahui memiliki riwayat penyakit saraf kejepit di punggung. “Sebagai tenaga medis, seharusnya korban tahu batas aman penggunaan obat yang disuntikkan. Apakah ini merupakan kesengajaan atau kelalaian yang berdampak pada kematian,” jelas Irwan.
Polisi akan terus mendalami kasus PPDS Undip ini, termasuk memeriksa saksi-saksi dari lingkungan sekitar korban serta rekan seprofesinya, untuk memastikan apakah kematian Aulia disebabkan oleh bunuh diri atau faktor lainnya.
Sumber: Tempo.