TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Direktur Tipideksus Kombes Whisnu Hermawan Februanto mengatakan pinjaman online (Pinjol) bodong alias ilegal dianggap juga merupakan kasus yang meresahkan masyarakat seperti premanisme.
Menurut Whisnu, kasus pinjaman online ilegal menjadi salah satu perkara yang menjadi fokus Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto. Harapannya, tak ada lagi korban yang terjerat dengan pinjol bodong.
Dijelaskan Whisnu, hanya ada 1.700 pinjaman online yang terdaftar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu, dia menduga masih ada 3.000 pinjol ilegal atau yang tak terdaftar resmi oleh negara.
“Inilah hal-hal yang menjadi perhatian Polri untuk bisa mengungkap perkara-perkara yang meresahkan masyarakat. Sama seperti disampaikan kemarin, kasus Preman. Ini kasus Pinjol pun juga meresahkan masyarakat,” kata Whisnu di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/6/2021).
Ia menuturkan banyak korban yang mengaku diperas hingga mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan usai meminjam di aplikasi pinjol ilegal. Beberapa korban bahkan diteror dengan edita foto-foto pornografi.
“Ada beberapa korban yang hanya meminjam uang beberapa ribu saja, kemudian diteror dengan foto-foto yang vulgar dengan menginformasikan ke teman-temannya, keluarganya, bahkan sampai ada yang stres akibat pinjaman yang tidak benar ini,” ujar dia.
Atas dasar itu, ia memastikan pihak kepolisian akan terus memburu pinjol-pinjol ilegal yang melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum. Dia meminta para korban juga dapat melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
“Mudah-mudahan kasus-kasus ini tidak ada lagi dan polri bisa mengungkap sebanyak-banyaknya perkara tersebut,” tukasnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri membongkar dugaan kasus penipuan pinjaman online (pinjol) bodong Rp Cepat. Pengusutan ini lantaran banyak aduan korban yang mengaku ditagih hingga puluhan juta.
Wadir Tipideksus Kombes Whisnu Hermawan Februanto mengatakan sistim bunga yang tak wajar membuat korban enggan membayarkan. Padahal dalam surat edaran, Rp Cepat hanya menjanjikan suku bunga rendah yaitu 7 persen.
“Kebanyakan korban itu pinjamnya Rp 1,7 juta, dapatnya Rp 500 ribu, dapat ditangannya Rp 290 ribu saja mengembalikannya puluhan juta nantinya. Bahkan ada yang minjam uangnya Rp 3 juta balikinnya Rp 60 juta,” kata Whisnu di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (17/6/2021).
Menurut Whisnu, Rp Cepat telah menyiapkan langkah tak terpuji jika para korban yang telah terjebak meminjam uang. Salah satunya dengan mengedit foto korban hingga memfitnah di media sosial.
“Kalau tidak dibayar, dia akan membuat ke teman-temannya tadi bahwa si A ini telah mengambil uang perusahaan bahkan lebih kasar lagi, foto-fotonya di crop kemudian dikirim gambar-gambar tidak senonoh itu banyak sekali,” ungkap dia.
Dalam kasus ini, kata Whisnu, penyidik telah menetapkan 5 orang sebagai tersangka. Namun, ada pula dua negara asing yang masih tengah menjadi buronan.
Adapun kelima tersangka itu adalah, EDP, BT, ACJ, SS dan MRK. Sementara dua orang WNA yang telah diminta pencekalan ke Ditjen Imigrasi adalah, XW dan GK.
“Lima tersangka dan masih ada dua lagi DPO yang diduga adalah warga negara asing,” ujar dia.
Lebih lanjut, dia menuturkan Rp Cepat adalah pinjaman online yang berada di naungan PT Southeast Century Asia (SCA). Perusahaan ini tak terdaftar di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kami menginformasikan kepada masyarakat bahwa aplikasi Rp Cepat ini tidak ada izinnya, secara legalitas, perusahaan ini tidak ada izinnya. Kami berhasil mengecek ke OJK, langsung,” tukasnya.
Sementara itu, Kasubdit V Dit Tipideksus Bareskrim Polri Kombes Ma’mun menyebut para pelaku melancarkan aksi kejahatannya dengan cara berpindah-pindah tempat.
Terakhir, mereka juga sempat menyewa sebuah rumah di daerah Jakarta Barat sebagai kantor Rp Cepat. Tempat ini juga menjadi lokasi penangkapan kelima tersangka.
“Dari awal yang di ruko pindah ke rumah sewaan. Kami grebek rumah sewannya dan kami dapatkan lima orang di belakang ini,” tukas dia.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 30 Jo Pasal 46 dan/atau Pasal 32 Jo Pasal 48 UU Nomor 19 tahun 2016 Tentang ITE dan/atau Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan/atau Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 atau Pasal 6 atau Pasal 10 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU.